BAB
II
PEMBAHASAN
KEBIJAKAN
PEMERINTAH DALAM DESENTRALISASI MANAJEMEN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH
A.
Konsep
Dasar Desentralisasi
Istilah otonomi daerah dan Desentralisasi sebenarnya
mempunyai pengertian yang berbeda. Istilah otonomi lebih cenderung berada dalam
aspek politik-kekuasaan negara (political aspect), sedangkan
desentralisasi lebih cenderung berada dalam aspek administrasi negara (administrativ
aspect). Sebaliknya jika dilihat dari sharing of power (pembagian
kekuasaan) kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat, dan tidak
dapat dipisahkan. Artiya, jika berbicara mengenai otonomi daerah, tentu akan
menyangkut pula pada pembicaraan seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang daerah, demikian pula
sebaliknya.[1]
Desentralisasi sebagai strategi reformasi adalah
suatu strategi politik belaka karena maksud yang tersurat untuk mengubah status
quo politik dengan menyerahkan wewenang dari satu tingkat pemerintah dan
seperangkat aparatnya ketingkat dibawahnya.[2]
Desentralisasi bukanlah konsep yang mudah utuk
didefinisikan, karena konsep ini memiliki berbagai bentuk dan dimensi.
Rondineli mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggungjawab dalam
perencanaan, manajemen, dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat, unit
yang berada dibawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi
otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau
lembaga privat non-pemerintah dan organisasi nirlaba. Sementara itu, Shahid
Javed Burki menggunakan istilah desentralisasi untuk menunjukkan adanya proses
perpindahan kekuasaan politik, fiskal, dan administratif kepada unit pemerintah
subnasional. Sedangkan Bray dan Fiskey mendefinisikan istilah desentralisasi
sebagai suatu proses dimana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya
menerima pelimpahan kewewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan
pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serat penyusunan
kebijakan dan pembiyaan.[3]
Sementara
Turner menjelaskan lebih detail tentang manfaat desentralisasi:
1. Perencanaan
khusus secara lokal akan mudah dilakukan dengan menggunakan informasi terkini
dan detail yang hanya di tingkat lokal (locally spesific plans);
2. Koordinasi
antara organisasi dapat dilakukan pada level daerah (inter-organizational
coordination);
3. Eksperimentasi
dan inovasi yang di dorong oleh desentralisasi akan meningkatkan peluang
strategi pembangunan menjadi lebih efektif (exsperimentation and innovation);
4. Motivasi
personal di daerah akan meningkat seiring dengan tanggungjawab yang akan
dimiliki untuk mengembangkan program yang akan dikelola (motivation of
field-level personnel);
5. Pengurangan
beban pekerjaan pada agen atau kantor cabang pemerintah pusat di daerah akan
melepaskan mereka dari rutinitas pengambil keputusan dan memberi mereka waktu
yang lebih untuk menentukan isu-isu strategis sehingga akan memperbaiki
kualitas kebijakan.[4]
B. Kebijakan Desentralisasi dalam Undang-Undang
Pengaturan tentang pemeritahan daerah di dalam UUD
1945 sebelum perubahan hanya terdiri dari 1 pasal yaitu pasal 18, yang
menentukan[5]:
Pembagian
daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bnetuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang memandang dan mengingat
dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul
dalam daerah yang bersifat istimewa.
Ketentuan tentang pemerintahan daerah dalam UUD 1945
sesudah perubahan kedua menjadi terdiri dari 3 pasal yaitu Pasal 18, 18A, dan
Pasal 18B. Berkaitan dengan Pasal 18 UUD 1945 hasil perubahan, Philipus M.
Hadjon mengemukakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal tersebut
adalah:
a) Prinsip
pembagian daerah yang bersifat hirarkis pada Ayat (1);
b) Prinsip
otonomi dan tugas pembantuan pada Ayat (2);
c) Prinsip
demokrasi pada Ayat (3) dan Ayat (4);
d) Prinsip
otonomi seluas-luasnya pada Ayat (5)[6]
Peraturan undang-undang sebagai produk
hukum disuatu negara dipengaruhi oleh kepentingan politik pemerintahan negara
yang membentuknya dan tidak terlepas dari situasi serta kondisi negara pada
masa dibentuknya peraturan perudang-undangan tersebut, termasuk dalam hal ini
undang-undang tentang pemerintahan daerah sedikit banyak juga dipengaruhi oleh
hal-hal tersebut. Demikan halnya penjabaran pengaturan desentralisasi dalam UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dirasa perlu secara kilas
mengupas latar belakangnya. Memperhatikan latar belakang pembentuknya, UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu bentuk respon
Pemerintahan Transisi B.J. Habibie untuk meredam dan mencegah berbagai tuntutan
dan gerakan yang terjadi di bebarapa daerah pada masa Gerakan Reformasi selain
sebagai upaya untuk memperbaiki pola hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. [7]
Kemudian pengaturan desentralisasi dalam
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa pemerintahan
daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintah yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan
Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.[8]
Tabel
Pembagian Wewenang antar Pemerintah
Pusat
|
Provinsi
|
Daerah
|
1.
Pertahanan dan Keamanan
2.
Sistim hukum
3.
Pajak dan keuangan
4.
Agama
5.
Urusan luar negeri
6.
Tugas khusus:
§
Perencanaan ekonomi makro
§
Dana perimbangan
§
Sistim administrasi pemerintahan dan
sistem kelembagaan ekonomi
§
Pengembangan sumber daya manusia/HRD
§
Pemanfaatan sumber daya alam dan
hal-hal yang terkait tehnologi tinggi
§
Standardisasi dan konservasi nasional
|
1.
Kewenangan yang meliputi hubungan
antar pemerintah
2.
Kewenangan yang berada di atas
kemampuan pemerintah daerah
3.
Kewenangan yang didelegasikan dari
Pusat
4.
Kewenangan lain terkait:
§ Perencanaan
makro tingkat regional
§ Training
§ Alokasi
SDM yg berpotensi, dan kegiatan penelitian di tingkat provinsi
§ Pengelolaan
pelabuhan di tingkat regional
§ Mengendalikan
lingkungan l
§ Promosi
perdagangan, budaya dan turisme
§ Kontrol
atas penyakit
|
1. Seluruh kewenangan yang bukan kewenangan Pusat dan Provinsi
2. Kewenangan wajib:
§ Pekerjaan Umum
§ Kesehatan
§ Pendidikan dan Kebudayaan
§ Pertanian
§ Transportasi
§ Industri dan Perdagangan
§ Investasi
§ Lingkungan Hidup
§ Pertanahan
§ Koperasi, dan
§ Tenaga Kerja
|
C. Desentralisasi Manajemen Pendidikan
Desentralisasi manajemen pendidikan adalah
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah untuk membuat keputusan
manajemen dan menysusun perencanaan sendiri dalam mengatasi masalah pendidikan
dengan mengacu kepada sistem pendidikan nasional. Desentralisasi manajemen
pendidikan ini dapat diterapkan dalam beberapa tingkat dan struktur organisasi
penyelenggara pendidikan, mulai dari tingkat pusat (nasional), sampai tingkat
satuan pendidikan.[9]
Ruang lingkup desentralisasi manajemen pendidikan
mencakup enam hal yaitu (1) perundang-undangan pendidikan, (2) struktur
organisasi dan kelembagaan pendidikan, (3) pengembangan kurikulum, (4)
profesionalitas tenaga kependidikan, (5) sarana dan prasarana pendidikan, (6)
pembiayaan pendidikan.[10]
Desentralisasi dan otonomi pendidikan
mempunyai makna yang sangat besar sebagai perwujudan penghargaan atas hak dan
kewajiban rakyat untuk memutuskan sendiri pendidikan untuk anak-anaknya.
Seperti telah dijelaskan, desentralisasi dan otonomi pendidikan berkaitan
dengan proses demokrasi. Proses tersebut intinya ialah memberikan kesempatan
pada rakyat untuk mengambil keputusan dilapangan mengenai bentuk, proses, dan
keberadaan lembaga pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kehidupannya. Dengan
kata lain, desentralisasi dan otonomi pendidikan bertujuan memberdayakan
rakyat. Oleh karena itu, desentralisasi dan otonomi pendidikan mempunyai dua
makna, yaitu: pertama, pengambilan keputusan dari rakyat secara
langsung atau pasrtisipasi dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi
dalam manajemen situasional atau manajemen kepemimpinan oleh rakyat dalam
bidang pendidikan.[11]
Dampak positif atas kebijakan desentralisasi
pendidikan, meliputi: a) peningkatan mutu, b) efisiensi keuangan, c) efisiensi
administrasi, dan d) perluasan/pemerataan. Pemberian otonomi pendidikan yang
luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang
muncul di masyarakat serta uapaya peningkatan mutu pendidikan secara umum.[12]
Perubahan kebijakan pendidikan
desantralistik sarat dengan harapan perbaikan pembangunan pendidikan.
Sentralisasi pendidikan belum berhasil mengoptimalkan peran pendidikan sebagai
kekuatan moral bangsa ini, bahkan slogan knowledge is power masih jauh
dari realitas. Disamping itu, slogan dunia tentang hak pendidikan bahwa education
for all masih ada dalam tatanan konsep. Pendidikan sentralistik cenderung
mematikan asas demokrasi. Kegagalan pendidikan sentralistik diwarnai oleh
kebijakan politik daripada kebijakan akademik.[13]
Kalau
pendidikan sudah dengan sendirinya bermuatan politis, sudah semestinya setiap
upaya mencari jalan bagaimana sistem pendidikan diorganisir dan dikelola juga
merupakan kegiatan politik. Lagi pula, seperti yang Cumming dan Riddell amati,
bahwa uapaya-upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan sangat sering terjadi
tawar-menawar. Mungkin sering ada konflik kepentingan diantara pemimpin
politik, seperti keinginan untuk mempertahankan pengikut, konflik kepentingan
para donor dan penganjur reformasi pendidikan lainnya yang semuanya berusaha
untuk memperbaiki hasil-hasil pendidikan.[14]
UU Nomor 22 tahun 1999 pasal 11 ayat 2 mengisyaratkan bahwa
pendidikan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan
Pemerintah Daerah. Kemudian PP Nomor 25 tahun 2000 pasal 2 dan 3 juga
mengisyaratkan tentang kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Propinsi dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Dalam konteks desentralisasi
pemerintahan daerah ini, maka desentralisasi pendidikan mengisyaratkan bahwa
Pemerintah Pusat berfungsi sebagai pengarah, pembina dan penentu kebijakan
nasional bidang pendidikan melalui Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan
Pemerintah Propinsi sebagai pembina dan koordinator penyelenggaraan pendidikan
lintas kabupaten/kota melalui Kantor Pengelola Pendidikan. Selanjutnya
Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggungjawab penuh di dalam penyelenggaraan
pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA) sesuai dengan arah kebijakan,
standar nasional dan kebutuhan lokal. Nama instansi pengelola pendiidkan tidak
selalu sama, sesuai Struktur Organisasi dan Tatakerja (SOT) atau Organisasi dan
Tatakerja (OTK) Pemerintah Daerah setempat.[15]
Tindakan pemerintah melakukan reorientasi pendidikan
langkah strategi bagi perbaikan mutu pendidikan dasar secara legal formal
memiliki kekuatan hukum. Dalam hal ini, pemerintah melalui UU No. 32 dan 33
tahun 2004 tentang otonomi daerah menuntut pembangunan pendidikan dioptimalkan
di daerah. Selanjutnya, peran bupati dan walikota diharapkan lebih serius dalam
melaksanakan otonomi pendidikan. Oleh karena itu, daerah diberikan kesempatan
membuat grand design yang secara kontekstual sesuai dengan kondisi
wilayahnya.[16]
D. Problematika Desentralisasi Manajamen Pendidikan
Pelaksanaan otonomi manajemen pembangunan pendidikan
di tingkat daerah dewasa ini merupakan sesuatu yang baru, yang memerlukan
kecermatan dalam pelaksanaannya, agar tidak menimbulkan dampak negatif. Dampak
negatif ini perlu diantisipasi, karena masih dihadapkan pada berbagai
problema-problema pembangunan di bidang lainnya, juga dihadapkan pada berbagai
problema pendidikan yang harus dihadapi.[17]
Problema-problema yang berkaitan dengan kualitas
pendidikan di daerah penangannya memang tidak sesederhana seperti yang dibayangkan.
Diakui, bahwa keragaman letak geografis dengan aneka ragam budaya,
adat-istiadat, dan bahasa, menuntut adanya pola-pola pelaksanaan pendidikan
yang tidak seragam. Keragaman latar belakang lingkungan alam dan pekerjaan,
menuntut pula adanya isi dan pola layanan pendidikan yang berbeda.[18]
1. Aspek Peningkatan Mutu
Aspek
peningkatan mutu, berkenaan dengan urgensi pemberian otonomi daerah, yang salah
satunya adalah untuk menghadapi persaingan global. Setidaknya ada tiga
kemampuan dasar yang diperlukan agar masyarakat Indonesia dapat ikut dalam
persaingan global, yaitu: kemampuan manajemen, kemampuan tekonologi, dan
kualias manusianya sendiri. Mutu yang diinginkan bukan hanya sekedar ingin
memenuhi standar lembaga, atau standar nasional semata-mata, tetapi harus
memenuhi standar nasional.
2. Aspek Pemerataan
Aspek
pemerataan berkenaan dengan peningkatan aspirasi masyarakat diperkirakan juga
akan meningkatnya pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan. Tetapi ini akan
membutuhkan ongkos yang tinggi, dengan semakin tingginya jarak antar daerah
dalam pemerataan faisilitas pendidikan, sangat potensial memunculkan
ketimpangan dalam perolehan mutu pendidikan. Tanpa intervensi manajemen,
anggota masyarakat dari daerah kabupaten/kota yang kaya dengan jumlah penduduk yang
relatif sedikit, akan dapat menikmati fasilitas pendidikan yang jauh lebih baik
dari anggota masyarakat pada daerah kabupaten/kota yang miskin. Dan apabila
kesempatan pendidikan ini juga mempengaruhi kesempatan untuk memperoleh
penghasilan, maka dalam jangka panjang berpotensi meningkatnya jurang
kesenjangan ekonomi antar daerah.[19]
UU
1945 dan UU 20/2003 mengamanatkan anggaran pendidikan Nasional minimal 20% dari
APBN dan APBD. Kebijakan ini dibuat untuk mewujudkan kemandirian bangsa yang
didukung oleh manusia Indonesia yang berkualitas. Namun, keputusan politik
bangsa ini dalam realitas masih menghadapi hambatan, karena sebagian besar
komponen dana dalam struktur APBN tidak dapat dialokasikan (unallocated),
yaitu: (a) pembayaran utang luar negeri yang walaupun makin kecil proporsi dan
nilai absolutnya masih cukup besar, (b) dana perimbangan untuk daerah otonomi
dalam bentuk DAU dan DAK, (c) subsidi bahan bakar minyak bumi yang jumlahnya
lebih besar daripada pendidikan nasional.[20]
3. Aspek Efisiensi Manajemen
Aspek
ini berkenaan dengan keterbatasan sumber pendanaan dalam pelaksaan pendidikan.
Dengan pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
pengelolaan (technical efficiency) maupun efisisensi dalam
mengalokasikan anggaran (economic afficiency). Bukan sebaliknya, bahwa
dengan pelaksanaan otonomi daerah, pembiayaan justru meningkat karena
bertambahnya struktur organisasi daerah yang menambah lebih banyak personel
pemerintahan, tetapi tidak mampu melaksanakan otonomi daerah.
4. Aspek Peran Serta Masyarakat
Aspek
peranserta masyarakat berkenaan dengan filosofi diberikannya otonomi kepada
daerah. Peranserta masyarakat dalam peran pendidikan dapat berupa perorangan,
kelompok, lembaga industri atau lembaga-lembaga kemsyarakatan lainnya. Namun,
perlu diantisipasi bahwa peranan masyarakat tersebut cenderung terbatas pada
lingkup kabupaten/kota yang bersangkutan. Karena itu, perlu juga intervensi
kebijakan nasional yang dapat menerapkan subsidi silang supaya peranserta
masyarakat dalam sistem desentralisasi tidak memperlebar jurang ketimpangan
pemerataan fasilitas pendidikan antar daerah.
5. Akuntabilitas
Melalui otonomi,
pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan jasa pendidikan semakin dekat
dengan masyarakat yang dilayaninya, sehingga akuntabilitas layanan tersebut
bergeser dari yang lebih beorientasi kepada kepentingan pemerintah pusat kepada
akuntabilitas yang lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Hal ini
menuntut lebih besar partisipasi masyarakat dan orangtua dalam pengambilan keputusan
tentang pelaksanaan pendidikan di daerah masing-masing.[21]
[1] Edie Toet Hendratno, Negara
Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009),
hlm. 63.
[2] Edward B. Fiske, Desentralisasi
Pengajaran Politik dan Konsensus, terj. (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 15.
[3] Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi
dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), hlm. 2-3.
[4] Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi
dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), hlm. 3-4.
[5] Edie Toet Hendratno, Negara
Kesatuan......, hlm. 165.
[6] Ibid., hlm. 170.
[7] Ibid., hlm. 173.
[8] Ibid., hlm. 174.
[9] Ara Hidayat, dan Imam Machali, Pengelolaan
Pendidikan: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah,
(Yogyakarta: Kaukaba, 2012), hlm. 52.
[10] Ibid., hlm. 52.
[11] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan
Pendidikan; Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran kekuasaan,
(Jakarta: Rineka Cipta: 2009), hlm. 277-278.
[12] Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi......,
hlm. 10.
[13] Ibid., hlm. 18.
[14] Edward B. Fiske, Desentralisasi.....,
hlm. 14.
[15] Mada Sutapa, Perspektif
Pendidikan Nasional Dalam Konteks Desentralisasi Pemerintah Daerah, (Yogyakarta:
Jurnal Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2005), hlm. 6.
[16] Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi......,
19-20.
[17] Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan
Pembaruan ...., hlm. 92.
[18] Ibid., hlm. 93.
[19] Ibid., hlm. 94.
[20] Ace Suryadi, Pendidikan
Indonesia Menuju 2025 (Outlook: Permasalahan, Tantangan & Alternatif
Kebijakan), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 116.
[21] Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan
Pembaruan......., hlm. 95.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar