Kamis, 12 November 2015

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM DESENTRALISASI MANAJEMEN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH



BAB II
PEMBAHASAN
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM DESENTRALISASI MANAJEMEN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH

A.    Konsep Dasar Desentralisasi
Istilah otonomi daerah dan Desentralisasi sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda. Istilah otonomi lebih cenderung berada dalam aspek politik-kekuasaan negara (political aspect), sedangkan desentralisasi lebih cenderung berada dalam aspek administrasi negara (administrativ aspect). Sebaliknya jika dilihat dari sharing of power (pembagian kekuasaan) kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang erat, dan tidak dapat dipisahkan. Artiya, jika berbicara mengenai otonomi daerah, tentu akan menyangkut pula pada pembicaraan seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang daerah, demikian pula sebaliknya.[1]
Desentralisasi sebagai strategi reformasi adalah suatu strategi politik belaka karena maksud yang tersurat untuk mengubah status quo politik dengan menyerahkan wewenang dari satu tingkat pemerintah dan seperangkat aparatnya ketingkat dibawahnya.[2]
Desentralisasi bukanlah konsep yang mudah utuk didefinisikan, karena konsep ini memiliki berbagai bentuk dan dimensi. Rondineli mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggungjawab dalam perencanaan, manajemen, dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat, unit yang berada dibawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non-pemerintah dan organisasi nirlaba. Sementara itu, Shahid Javed Burki menggunakan istilah desentralisasi untuk menunjukkan adanya proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal, dan administratif kepada unit pemerintah subnasional. Sedangkan Bray dan Fiskey mendefinisikan istilah desentralisasi sebagai suatu proses dimana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serat penyusunan kebijakan dan pembiyaan.[3]
Sementara Turner menjelaskan lebih detail tentang manfaat desentralisasi:
1.      Perencanaan khusus secara lokal akan mudah dilakukan dengan menggunakan informasi terkini dan detail yang hanya di tingkat lokal (locally spesific plans);
2.      Koordinasi antara organisasi dapat dilakukan pada level daerah (inter-organizational coordination);
3.      Eksperimentasi dan inovasi yang di dorong oleh desentralisasi akan meningkatkan peluang strategi pembangunan menjadi lebih efektif (exsperimentation and innovation);
4.      Motivasi personal di daerah akan meningkat seiring dengan tanggungjawab yang akan dimiliki untuk mengembangkan program yang akan dikelola (motivation of field-level personnel);
5.      Pengurangan beban pekerjaan pada agen atau kantor cabang pemerintah pusat di daerah akan melepaskan mereka dari rutinitas pengambil keputusan dan memberi mereka waktu yang lebih untuk menentukan isu-isu strategis sehingga akan memperbaiki kualitas kebijakan.[4]
B.     Kebijakan Desentralisasi dalam Undang-Undang
Pengaturan tentang pemeritahan daerah di dalam UUD 1945 sebelum perubahan hanya terdiri dari 1 pasal yaitu pasal 18, yang menentukan[5]:
Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bnetuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.
Ketentuan tentang pemerintahan daerah dalam UUD 1945 sesudah perubahan kedua menjadi terdiri dari 3 pasal yaitu Pasal 18, 18A, dan Pasal 18B. Berkaitan dengan Pasal 18 UUD 1945 hasil perubahan, Philipus M. Hadjon mengemukakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal tersebut adalah:
a)      Prinsip pembagian daerah yang bersifat hirarkis pada Ayat (1);
b)      Prinsip otonomi dan tugas pembantuan pada Ayat (2);
c)      Prinsip demokrasi pada Ayat (3) dan Ayat (4);
d)     Prinsip otonomi seluas-luasnya pada Ayat (5)[6]
Peraturan undang-undang sebagai produk hukum disuatu negara dipengaruhi oleh kepentingan politik pemerintahan negara yang membentuknya dan tidak terlepas dari situasi serta kondisi negara pada masa dibentuknya peraturan perudang-undangan tersebut, termasuk dalam hal ini undang-undang tentang pemerintahan daerah sedikit banyak juga dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Demikan halnya penjabaran pengaturan desentralisasi dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dirasa perlu secara kilas mengupas latar belakangnya. Memperhatikan latar belakang pembentuknya, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu bentuk respon Pemerintahan Transisi B.J. Habibie untuk meredam dan mencegah berbagai tuntutan dan gerakan yang terjadi di bebarapa daerah pada masa Gerakan Reformasi selain sebagai upaya untuk memperbaiki pola hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. [7]
Kemudian pengaturan desentralisasi dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.[8]
Tabel Pembagian Wewenang antar Pemerintah
Pusat
Provinsi
Daerah
1.      Pertahanan dan Keamanan
2.      Sistim hukum
3.      Pajak dan keuangan
4.      Agama
5.      Urusan luar negeri
6.      Tugas khusus:
§  Perencanaan ekonomi makro
§  Dana perimbangan
§  Sistim administrasi pemerintahan dan sistem kelembagaan ekonomi
§  Pengembangan sumber daya manusia/HRD
§  Pemanfaatan sumber daya alam dan hal-hal yang terkait tehnologi tinggi
§  Standardisasi dan konservasi nasional
1.      Kewenangan yang meliputi hubungan antar pemerintah
2.      Kewenangan yang berada di atas kemampuan pemerintah daerah
3.      Kewenangan yang didelegasikan dari Pusat
4.      Kewenangan lain terkait:
§  Perencanaan makro tingkat regional
§  Training
§  Alokasi SDM yg berpotensi, dan kegiatan penelitian di tingkat provinsi
§  Pengelolaan pelabuhan di tingkat regional
§  Mengendalikan lingkungan l
§  Promosi perdagangan, budaya dan turisme
§  Kontrol atas penyakit
1.       Seluruh kewenangan yang bukan kewenangan Pusat dan Provinsi
2.       Kewenangan wajib:
§  Pekerjaan Umum
§  Kesehatan
§  Pendidikan dan Kebudayaan
§  Pertanian
§  Transportasi
§  Industri dan Perdagangan
§  Investasi
§  Lingkungan Hidup
§  Pertanahan
§  Koperasi, dan
§  Tenaga Kerja


C.    Desentralisasi Manajemen Pendidikan
Desentralisasi manajemen pendidikan adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah untuk membuat keputusan manajemen dan menysusun perencanaan sendiri dalam mengatasi masalah pendidikan dengan mengacu kepada sistem pendidikan nasional. Desentralisasi manajemen pendidikan ini dapat diterapkan dalam beberapa tingkat dan struktur organisasi penyelenggara pendidikan, mulai dari tingkat pusat (nasional), sampai tingkat satuan pendidikan.[9]
Ruang lingkup desentralisasi manajemen pendidikan mencakup enam hal yaitu (1) perundang-undangan pendidikan, (2) struktur organisasi dan kelembagaan pendidikan, (3) pengembangan kurikulum, (4) profesionalitas tenaga kependidikan, (5) sarana dan prasarana pendidikan, (6) pembiayaan pendidikan.[10]
Desentralisasi dan otonomi pendidikan mempunyai makna yang sangat besar sebagai perwujudan penghargaan atas hak dan kewajiban rakyat untuk memutuskan sendiri pendidikan untuk anak-anaknya. Seperti telah dijelaskan, desentralisasi dan otonomi pendidikan berkaitan dengan proses demokrasi. Proses tersebut intinya ialah memberikan kesempatan pada rakyat untuk mengambil keputusan dilapangan mengenai bentuk, proses, dan keberadaan lembaga pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kehidupannya. Dengan kata lain, desentralisasi dan otonomi pendidikan bertujuan memberdayakan rakyat. Oleh karena itu, desentralisasi dan otonomi pendidikan mempunyai dua makna, yaitu: pertama, pengambilan keputusan dari rakyat secara langsung atau pasrtisipasi dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi dalam manajemen situasional atau manajemen kepemimpinan oleh rakyat dalam bidang pendidikan.[11]
Dampak positif atas kebijakan desentralisasi pendidikan, meliputi: a) peningkatan mutu, b) efisiensi keuangan, c) efisiensi administrasi, dan d) perluasan/pemerataan. Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta uapaya peningkatan mutu pendidikan secara umum.[12]
Perubahan kebijakan pendidikan desantralistik sarat dengan harapan perbaikan pembangunan pendidikan. Sentralisasi pendidikan belum berhasil mengoptimalkan peran pendidikan sebagai kekuatan moral bangsa ini, bahkan slogan knowledge is power masih jauh dari realitas. Disamping itu, slogan dunia tentang hak pendidikan bahwa education for all masih ada dalam tatanan konsep. Pendidikan sentralistik cenderung mematikan asas demokrasi. Kegagalan pendidikan sentralistik diwarnai oleh kebijakan politik daripada kebijakan akademik.[13]
Kalau pendidikan sudah dengan sendirinya bermuatan politis, sudah semestinya setiap upaya mencari jalan bagaimana sistem pendidikan diorganisir dan dikelola juga merupakan kegiatan politik. Lagi pula, seperti yang Cumming dan Riddell amati, bahwa uapaya-upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan sangat sering terjadi tawar-menawar. Mungkin sering ada konflik kepentingan diantara pemimpin politik, seperti keinginan untuk mempertahankan pengikut, konflik kepentingan para donor dan penganjur reformasi pendidikan lainnya yang semuanya berusaha untuk memperbaiki hasil-hasil pendidikan.[14]
UU Nomor 22 tahun 1999 pasal 11 ayat 2 mengisyaratkan bahwa pendidikan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan Pemerintah Daerah. Kemudian PP Nomor 25 tahun 2000 pasal 2 dan 3 juga mengisyaratkan tentang kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Propinsi dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Dalam konteks desentralisasi pemerintahan daerah ini, maka desentralisasi pendidikan mengisyaratkan bahwa Pemerintah Pusat berfungsi sebagai pengarah, pembina dan penentu kebijakan nasional bidang pendidikan melalui Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan Pemerintah Propinsi sebagai pembina dan koordinator penyelenggaraan pendidikan lintas kabupaten/kota melalui Kantor Pengelola Pendidikan. Selanjutnya Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggungjawab penuh di dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA) sesuai dengan arah kebijakan, standar nasional dan kebutuhan lokal. Nama instansi pengelola pendiidkan tidak selalu sama, sesuai Struktur Organisasi dan Tatakerja (SOT) atau Organisasi dan Tatakerja (OTK) Pemerintah Daerah setempat.[15]
Tindakan pemerintah melakukan reorientasi pendidikan langkah strategi bagi perbaikan mutu pendidikan dasar secara legal formal memiliki kekuatan hukum. Dalam hal ini, pemerintah melalui UU No. 32 dan 33 tahun 2004 tentang otonomi daerah menuntut pembangunan pendidikan dioptimalkan di daerah. Selanjutnya, peran bupati dan walikota diharapkan lebih serius dalam melaksanakan otonomi pendidikan. Oleh karena itu, daerah diberikan kesempatan membuat grand design yang secara kontekstual sesuai dengan kondisi wilayahnya.[16]
D.    Problematika Desentralisasi Manajamen Pendidikan
Pelaksanaan otonomi manajemen pembangunan pendidikan di tingkat daerah dewasa ini merupakan sesuatu yang baru, yang memerlukan kecermatan dalam pelaksanaannya, agar tidak menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif ini perlu diantisipasi, karena masih dihadapkan pada berbagai problema-problema pembangunan di bidang lainnya, juga dihadapkan pada berbagai problema pendidikan yang harus dihadapi.[17]
Problema-problema yang berkaitan dengan kualitas pendidikan di daerah penangannya memang tidak sesederhana seperti yang dibayangkan. Diakui, bahwa keragaman letak geografis dengan aneka ragam budaya, adat-istiadat, dan bahasa, menuntut adanya pola-pola pelaksanaan pendidikan yang tidak seragam. Keragaman latar belakang lingkungan alam dan pekerjaan, menuntut pula adanya isi dan pola layanan pendidikan yang berbeda.[18]
1.      Aspek Peningkatan Mutu
Aspek peningkatan mutu, berkenaan dengan urgensi pemberian otonomi daerah, yang salah satunya adalah untuk menghadapi persaingan global. Setidaknya ada tiga kemampuan dasar yang diperlukan agar masyarakat Indonesia dapat ikut dalam persaingan global, yaitu: kemampuan manajemen, kemampuan tekonologi, dan kualias manusianya sendiri. Mutu yang diinginkan bukan hanya sekedar ingin memenuhi standar lembaga, atau standar nasional semata-mata, tetapi harus memenuhi standar nasional.
2.      Aspek Pemerataan
Aspek pemerataan berkenaan dengan peningkatan aspirasi masyarakat diperkirakan juga akan meningkatnya pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan. Tetapi ini akan membutuhkan ongkos yang tinggi, dengan semakin tingginya jarak antar daerah dalam pemerataan faisilitas pendidikan, sangat potensial memunculkan ketimpangan dalam perolehan mutu pendidikan. Tanpa intervensi manajemen, anggota masyarakat dari daerah kabupaten/kota yang kaya dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit, akan dapat menikmati fasilitas pendidikan yang jauh lebih baik dari anggota masyarakat pada daerah kabupaten/kota yang miskin. Dan apabila kesempatan pendidikan ini juga mempengaruhi kesempatan untuk memperoleh penghasilan, maka dalam jangka panjang berpotensi meningkatnya jurang kesenjangan ekonomi antar daerah.[19]
UU 1945 dan UU 20/2003 mengamanatkan anggaran pendidikan Nasional minimal 20% dari APBN dan APBD. Kebijakan ini dibuat untuk mewujudkan kemandirian bangsa yang didukung oleh manusia Indonesia yang berkualitas. Namun, keputusan politik bangsa ini dalam realitas masih menghadapi hambatan, karena sebagian besar komponen dana dalam struktur APBN tidak dapat dialokasikan (unallocated), yaitu: (a) pembayaran utang luar negeri yang walaupun makin kecil proporsi dan nilai absolutnya masih cukup besar, (b) dana perimbangan untuk daerah otonomi dalam bentuk DAU dan DAK, (c) subsidi bahan bakar minyak bumi yang jumlahnya lebih besar daripada pendidikan nasional.[20]
3.      Aspek Efisiensi Manajemen
Aspek ini berkenaan dengan keterbatasan sumber pendanaan dalam pelaksaan pendidikan. Dengan pelaksanaan otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan (technical efficiency) maupun efisisensi dalam mengalokasikan anggaran (economic afficiency). Bukan sebaliknya, bahwa dengan pelaksanaan otonomi daerah, pembiayaan justru meningkat karena bertambahnya struktur organisasi daerah yang menambah lebih banyak personel pemerintahan, tetapi tidak mampu melaksanakan otonomi daerah.
4.      Aspek Peran Serta Masyarakat
Aspek peranserta masyarakat berkenaan dengan filosofi diberikannya otonomi kepada daerah. Peranserta masyarakat dalam peran pendidikan dapat berupa perorangan, kelompok, lembaga industri atau lembaga-lembaga kemsyarakatan lainnya. Namun, perlu diantisipasi bahwa peranan masyarakat tersebut cenderung terbatas pada lingkup kabupaten/kota yang bersangkutan. Karena itu, perlu juga intervensi kebijakan nasional yang dapat menerapkan subsidi silang supaya peranserta masyarakat dalam sistem desentralisasi tidak memperlebar jurang ketimpangan pemerataan fasilitas pendidikan antar daerah.
5.      Akuntabilitas
Melalui otonomi, pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan jasa pendidikan semakin dekat dengan masyarakat yang dilayaninya, sehingga akuntabilitas layanan tersebut bergeser dari yang lebih beorientasi kepada kepentingan pemerintah pusat kepada akuntabilitas yang lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Hal ini menuntut lebih besar partisipasi masyarakat dan orangtua dalam pengambilan keputusan tentang pelaksanaan pendidikan di daerah masing-masing.[21]


[1] Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 63.
[2] Edward B. Fiske, Desentralisasi Pengajaran Politik dan Konsensus, terj. (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 15.
[3] Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 2-3.
[4] Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 3-4.
[5] Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan......, hlm. 165.
[6] Ibid., hlm. 170.
[7] Ibid., hlm. 173.
[8] Ibid., hlm. 174.
[9] Ara Hidayat, dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), hlm. 52.
[10] Ibid., hlm. 52.
[11] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran kekuasaan, (Jakarta: Rineka Cipta: 2009), hlm. 277-278.
[12] Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi......, hlm. 10.
[13] Ibid., hlm. 18.
[14] Edward B. Fiske, Desentralisasi....., hlm. 14.
[15] Mada Sutapa, Perspektif Pendidikan Nasional Dalam Konteks Desentralisasi Pemerintah Daerah, (Yogyakarta: Jurnal Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2005), hlm. 6.
[16] Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi......, 19-20.
[17] Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan ...., hlm. 92.
[18] Ibid., hlm. 93.
[19] Ibid., hlm. 94.
[20] Ace Suryadi, Pendidikan Indonesia Menuju 2025 (Outlook: Permasalahan, Tantangan & Alternatif Kebijakan), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 116.
[21] Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan......., hlm. 95.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar